Saat kenyataan di luar keinginan

Seringkali kita merasa bahwa hidup ini tidak adil, ketidakadilan ini bermula saat kenyataan yang kita hadapi tidak sesuai dengan keinginan dan harapan kita.

Keinginan lahir dari cita-cita atau bisa juga merupakan rencana hidup kita seperti visi dan misi hidup, dan kenyataan merupakan sesuatu yang kita alami, harus dihadapi, tidak bisa dihindarkan dan diabaikan.

Kenyataan yang pahit, terasa begitu nyata seperti gunung es tatkala kita berada di atas kapal laut yang tak terhindarkan harus menabrak, seberapa piawainyapun sang nakhoda... Dan seseorang merasa hidup ini lebih tidak adil saat ikhtiar dan doa pun sudah dipanjatkan beriringan dengan kepasrahan mendalam.

Kekecewaan bertumpuk-tumpuk, seperti awan kelam yang menggulung tatkala akan hujan deras membawa banjir dan longsor. Sebelum menghadapinyapun kita sudah takut, karena imajinasi kita tentang kekelaman yang kita akan hadapi sudah tertancap dalam pikiran, oh hari esok rasanya berat, oh entah kepahitan apa lagi yang akan menjemput jiwa. Dan benarlah saatnya tiba kita begitu rapuh, lemah, terkulai, kesesakan tatkala bangun pagi menjadi rutinnya kehidupan.

Saat-saat seperti itu yang menguatkan saya adalah perkataan Allah SWT dalam Al-Baqarah ayat 216, bahwa sesuatu yang terasa tidak baik atau kita membencinya, bisa jadi itu adalah hal yang baik untuk kita dan sebaliknya bila kita merasa sesuatu itu baik untuk kita bisa jadi amat buruk untuk kita, karena hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui.

Untuk beberapa individu memang hal ini terasa klise, tapi memang setelah dijalani inilah kenyataannya. Kita tidak akan pernah mengetahui sesuatu itu baik atau buruk disaat kita belum melalui nya dan merasakan hikmah atau arti sesungguh nya dari yang kita alami.

Saat sekarang ini akan terasa mudah untuk mengatakan bahwa orang lain tidak akan pernah mengerti apa yang kita rasakan dan mereka hanya bisa memberikan justifikasi terhadap kenyataan pahit hidup yang kita alami, memang lebih mudah untuk menghindari nasihat-nasihat yang terasa menghakimi dibandingkan dengan berkontemplasi atau merenung sejenak apakah memang nasihat itu merupakan solusi untuk masalah kita. Lingkaran setan ini yang terus mengelilingi kita disaat hidup terasa begitu pahit, yaitu kita mendapatkan kenyataan tidak sesuai dengan keinginan/pengharap an lalu dengan mudahnya kita menepis pertolongan orang dan menjauh dari sang Khalik.

Percaya atau tidak, bahwa di hidup ini ada mukjizat, sesuatu yang dikira atau dinalar tidak masuk akal namun terjadi. Terkadang hal ini terjadi di saat kita merasa sudah lelah bergulat dengan hidup, namun kita masih memiliki secercah harapan kepada Allah SWT, disaat kita merasa tidak ada lagi orang yang perduli terhadap kegetiran hidup yang kita alami, namun kita masih bisa bersabar untuk mendapatkan bantuan Allah, La-Haula Walla Quwata Illa Billahil Alliyil Adzim, tiada pertolongan dan daya upaya yang datang selain dari Allah. Kita jangan takut akan suatu masalah tapi kita harus takut jika kita tidak mendapatkan pertolongan dari Allah SWT dalam mengahadapi masalah.

Saat masalah dirasa telah menggunung, dan terlihat seolah tidak mungkin ada jalan keluarnya. Mulai berbaik sangkalah kepada Allah SWT bahwa semua ini diciptakan berpasang-pasangan. Ujung pelangi memiliki ujung pelangi yang lain, embun pagi terasa indah bila dipasangkan dengan pagi hari begitu juga dengan kesedihan dipasangkan dengan kebahagiaan, ini sudah merupakan janji Allah SWT.

Begitu juga dengan masalah, memang Allah pasangkan dengan doa, karena bila ditilik lebih jauh doa itu erat kaitannya dengan sabar dan sholat. Di dalam kesabarannya dalam menghadapi cobaan dan ujian, seseorang selalu memanjatkan doa nya kepada Allah SWT. Bentuk doa yang paling hakiki ialah sholat, yang di dalamnya terdapat ribuan bentuk zikir atau mengingat Allah SWT.

Disayangkan banyak orang yang menganggap remeh kekutan dari doa, doa itu sangat dahsyat, doa merupakan bentuk kepasrahan dati diri manusia di hadapanNya, doa merupakan komunikasi langsung yang mendekatkan jarak antara hamba dengan PenciptaNya, doa merupakan bentuk pinta dari kita terhadap Yang Maha Dipinta.

Manusia seringkali merasa sibuk atau mungkin disibukkan dengan logika berpikir rasional nya, bahwa doa itu hanya pelengkap dari usaha kita, doa merupakan hal yang tidak masuk di akal bila dilihat dari kemampunannya menyelesaikan masalah.

Bila dihayati doa itu terasa nikmat bila dikemas dengan kepercayaan yang mendalam terhadap kekuatan dari doa, Allah SWT begitu menyukai hambaNya yang berdoa di setiap saat nya, hanya untuk meminta ditunjukkan bus mana yang seharusnya diambil untuk menghindari macet sampai ke doa pilihan pasangan hidupnya. Karena memang selayaknya itulah posisi pentingnya Allah SWT dalam kehidupan kita.

Setelah tangisan terasa sudah mengering, saat terasa keinginan untuk mengakhiri hidup sudah mengkungkung, ingatlah bahwa daun yang jatuh saja itu atas ijin Allah SWT, apalagi insan manusia yang dijadikanNya khalifah di muka bumi ini, pasti telah diatur skenario hidupnya. Wajar memang bila kesedihan mendera kita yang amat sangat, namun apakah kita pernah meminta untuk"dipeluk"oleh Allah SWT dalam rintihan doa-doa kita, dipeluk oleh lindungan dan pertolonganNya untuk menghindari keputusasaan yang sering menghampiri kita?

Terkadang kita merasa "pelukan" yang berarti dan bisa dirasakan hanya datang dari manusia, sedangkan"pelukan"yang terasa memeluk kita dari perbuatan keputusasaan, yang begitu tulus dan tidak minta untuk "dipeluk" kembali hanya pelukan dari Allah SWT, dan yang harus kita lakukan untuk mendapatkan pelukan yang tulus dan begitu menghangatkan jiwa, hanyalah memintanya lewat doa-doa dan tangisan rintihan kita memohon pelukanNya, hanya itu...

Sehingga semoga secercah pemikiran dan pengalaman di atas bisa menumbuhkan perasaan bahwa kepedihan hidup dialami semua orang, bahwa kita tidak sendirian, kenyataan tidak sesuai dengan keinginan adalah hal yang wajar kita alami, kebersamaan dan berbagi rasa semoga bisa menjadi solusi untuk menghadapi kesedihan, bukan berlarut dengannya.

Optimisme harus kita kobarkan dalam jiwa, yang terkadang meredup oleh kerasnya badai, dan pondasi optimisme itu kita tancapkan pada keyakinan bahwa Allah selalu bersama kita, bantuannya akan selalu datang pada mereka yang meminta.

Next.....

Kiat Menumbuhkan Rasa Percaya Diri

Saudaraku yang Seiman, perjuangan kita untuk menjaga harga diri dari meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan kita. Jiwa mandiri adalah kunci harga diri. Sebagaimana kita lihat dalam sebuah kehidupan Nabi Muhammad Saw setelah berhijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Orang-orang Anshar dan Muhajirin.

Ada satu kisah menarik yang terjadi ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin 'Auf dengan Sa'ad orang paling kaya dari golongan Anshar. Ketika itu Sa'ad berkata kepada Abdurrahman: "Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih separuh hartaku dan ambillah. Dan aku mempunya dua orang isteri, coba perhatikan mana yamg lebih menarik perhatian anda, akan aku ceraikan dia hingga anda dapat memperisterinya."

Mendapat tawaran itu Abdurrahman hanya tersenyum, dia tidak mau menyakiti hati sahabatnya itu. Lalu Abdurrahman bin 'Auf menjawab: "Semoga Allah memberkati anda, juga Isteri dan harta anda. tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga." Kemudian Abdurrahman pergi ke pasar untuk berjual beli.
Hingga suatu ketika Rasul menyapanya, "Bagaimana keadaanmu sekarang, wahai Abdurrahman..?" ia menjawab: "Ya Nabi, aku sudah menikah dan maharnya saya bayar dengan emas.

Bentuk Sikap Terpuji
Sahabat, kita sangat layak untuk meneladani sikap yang ditunjukkan Abdurrahman bin 'Auf. itulah kemandirian yang berakar dari terjaganya harga diri. Sebuah sikap terpuji yang mulai hilang dalam kehidupan masayarakat kita. Sudah menjadi keniscayaan, jika kita bersandar kepada selain Allah SWT. Pasti kita akan takut kalau sandaran itu diambil orang. Tapi bila kita bergantung kepada Allah SWT maka tidak ada sedikitpun keraguan dan kecemasan yang akan menghampiri.

Allah tidak akan mengabaikan orang yang bersungguh-sungguh berharap kepada-Nya. Dalam sebuah hadist Qudsi disebutkan, "Apabila seorang hamba-Ku mendekatiku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. Apabila ia mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta."

Jiwa mandiri adalah kunci harga diri, selain akan merdeka dalam hidupnya, orang yang mandiri akan lebih rasa percaya diri sehingga bisa melakukan pekerjaan lebih banyak. Ucapannya lebih bermakna dan waktunya akan lebih efektif. Karena itu, perjuangan kita untuk menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta selain Allah adalah bukti kemuliaan sejati.

Kita harus mulai bangkit menjadi manusia berjiwa mandiri. Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan. pertama, tekadkan dalam diri untuk menjadi orang yang mandiri. Dalam hidup yang hany sekali ini, kita harus terhormat dan jangan menjadi budak dari apapun selain Allah SWT. Tekadkan terusuntuk selalu menjaga kehormatan diri dan pantang menjadi beban.

kedua, berani memulai; hanya dengan keberanian orang bisa bangkit untuk mandiri. Tidak pernah kita berada diatas tanpa terlebih dahulu memulai dari bawah. Adalah mimpi menginginkan hidup sukses tanpa mau bersusah payah terlebih dahulu. Sungguh, dunia ini hanyalah milik para pemberani. Kesuksesan, kebahagiaan, dan kehormatan sejati hanyalah milik pemberani.

Orang Pengecut tidak akan pernah mendapatkan apa-apa, karena ia melumpuhkan kekuatannya sendiri.

Ketiga, Nikmatilah proses. Segalanya tidak ada yang instan, semua membutuhkan proses. Keterpurukan yang menimpa negeri kita salah satu sebabnya karena kita ingin segera mendapatkan hasil. Padahal, tidak mungkin ada hasil tanpa memperjuangkannya terlebih dahulu. Kita harus belajar menikmati proses perjuangan, menikmati tetesan keringat, dan air mata.

Hidup Sukses
Dengan perjuangan nilai kehormatan yang sesungguhnya bisa terwujud. Kita jangan terlalu memikirkan hasil. Tugas kita adalah melakukan yang terbaik. Allah tidak akan memandang hasil yang kita raih, tapi Ia akan memandang kegigihan kita dalam berproses. Namun, jangan sampai kegigihan dan kemandirian kita mendatangkan rasa ujub (rasa bangga) akan kemampuan diri.

Kemandirian yang yang sejati seharusnya membuat kita tawaduk, rendah hati. Sertailah kegigihan kita untuk mandiri dengan sikap tawaduk da tawakal kepada Allah SWT. Jadi, kemandirian bukan untuk berbangga diri tapi harus membuat kita lebih memiliki harga diri, bisa berprestasi dan tidak membuat kita tinggi hati. Wallahu'a'lam.

Next.....